Posted by Ummu 'Ammar in Fiqih, Keluarga, Pendidikan Anak.
Tags: melatih anak puasa, ramadhan, sikecil puasa, wajib puasa
trackback
Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran
Anak
yang belum baligh memang tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa
Ramadhan. Namun, tentu tidak ada salahnya bila para orang tua mulai
melatih mereka untuk berpuasa yang dengan latihan ini akan memberi
banyak manfaat pada diri anak.
Ramadhan telah tiba kembali. Seluruh kaum muslimin menyongsong bulan
ini dengan penuh kerinduan dan merenda harapan, semoga mendapatkan
pahala yang berlipat dalam segala kebaikan yang ditunaikan. Mereka
bersemangat menyambut perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Anak-anak kecil pun tak luput dari kegembiraan ini. Mereka
berlomba-lomba untuk berpuasa. Orang tua pun turut menghasung mereka
untuk menunaikan ibadah ini, bahkan terkadang dengan iming-iming hadiah
bila berhasil menyelesaikan puasa hingga Ramadhan berakhir.Namun,
bagaimana sesungguhnya yang dilakukan para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak-anak mereka yang belum
baligh saat menghadapi perintah puasa? Adakah di antara mereka yang
menyuruh anak-anak mereka berpuasa sebagaimana yang banyak dilakukan
kaum muslimin sekarang ini?
Dikisahkan oleh seorang shahabiyah, Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz
radhiallahu ‘anha tentang hal ini, ketika datang perintah puasa
‘Asyura`, puasa wajib sebelum difardhukannya puasa Ramadhan:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ
عَاشُوْرَاءَ إِلَى قُرَى اْلأَنْصَار: مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا
فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ.
قَالَ: فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ
لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ. فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى
الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang pada
pagi hari ‘Asyura ke kampung-kampung Anshar untuk memerintahkan:
‘Barangsiapa yang pagi hari itu dalam keadaan tidak berpuasa, hendaknya
dia sempurnakan hari itu dengan puasa, dan barangsiapa yang pagi itu
berpuasa, hendaknya melanjutkan puasanya.’ Maka kami pun menunaikan
puasa ‘Asyura setelah itu, dan kami suruh anak-anak kami untuk berpuasa,
dan kami buatkan untuk mereka mainan dari wol. Apabila mereka menangis
karena minta makanan, kami berikan mainan itu. Demikian hingga tiba
waktu berbuka.” (HR. Al-Bukhari, kitab Ash-Shaum bab Shaum Ash-Shibyan
no. 1961 dan Muslim, kitab Ash-Shiyam bab Man Akala fi ‘Asyura’
falyakuffa Baqiyyata Yaumihi no. 1136)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan bahwa dalam hadits ini
terdapat hujjah disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, karena
siapa pun yang masuk dalam usia kanak-kanak sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits belumlah mukallaf (dibebani pelaksanaan syariat). Namun
perintah untuk berpuasa itu semata sebagai latihan. (Fathul Bari, 4/257)
Demikian pula Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan beliau
tentang hadits ini. Beliau mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan
adanya latihan bagi anak-anak untuk melaksanakan ketaatan, membiasakan
mereka untuk beribadah, namun mereka bukanlah mukallaf. Al-Qadhi
mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari ‘Urwah bahwa ketika anak-anak
itu mampu berpuasa, maka mereka wajib berpuasa. Ini adalah pendapat yang
keliru yang terbantah dengan hadits shahih:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ. وَفِي رِوَايَةٍ: يَبْلُغَ
“Pena (catatan amalan) diangkat dari tiga golongan, (di antaranya)
dari anak kecil sampai dia ihtilam1.” Dalam riwayat yang lain: “Hingga
dia baligh.”
Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 8/13)
Adapun mengenai batasan usia seorang anak mulai dilatih untuk berpuasa,
ada perselisihan di dalam hal ini. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu
mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan disenanginya memerintahkan
anak-anak berpuasa untuk melatih mereka apabila mereka mampu. Yang
berpendapat seperti ini adalah sekelompok dari kalangan salaf, di
antaranya Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Asy-Syafi’i dan yang lainnya.
Murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i berselisih dalam hal batasan usia
seorang anak mulai diperintahkan untuk puasa. Di antaranya ada yang
berpendapat tujuh tahun, ada pula yang berpendapat sepuluh tahun, dan
ini pula yang dipegangi oleh Al-Imam Ahmad. Ada pula yang berpendapat
duabelas tahun, demikian pendapat Ishaq. Sementara Al-Imam Al-Auza’i
berpendapat, apabila seorang anak mampu berpuasa tiga hari
berturut-turut dan dia tidak menjadi lemah dengan puasanya, maka
diperintahkan untuk berpuasa. Pendapat yang masyhur dari kalangan
Malikiyah, puasa tidaklah disyariatkan pada anak-anak. Namun pendapat
ini terbantah dengan hadits di atas, karena sungguh sangat tidak mungkin
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ini. (Nailul
Authar, 4/250-251)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu pernah
ditanya, apakah anak-anak kecil di bawah usia limabelas tahun
diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana mereka diperintah shalat?
Beliau rahimahullahu menjawab, “Ya. Anak-anak yang belum mencapai baligh
diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu, sebagaimana hal ini
dilakukan pula oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum terhadap anak-anak
mereka. Ahlul ilmi telah menyatakan pula bahwa wali memerintahkan
anak-anak yang ada di bawah perwaliannya untuk berpuasa agar mereka
terlatih dan terbiasa melakukannya, dan pokok-pokok agama Islam pun
terbentuk dalam jiwa mereka sehingga menjadi tabiat pada diri mereka.
Akan tetapi, apabila hal ini berat atau membahayakan mereka, maka mereka
tidak diharuskan berpuasa.
Di sini saya juga memperingatkan tentang suatu permasalahan yang
dilakukan oleh sebagian ayah atau ibu, yaitu melarang anak-anak mereka
berpuasa, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para shahabat
radhiallahu ‘anhum. Mereka beranggapan, mereka melarang anak-anak
berpuasa karena rasa sayang dan iba terhadap anak-anak. Padahal pada
kenyataannya, kasih sayang terhadap anak-anak itu dilakukan dengan
memerintahkan mereka untuk melaksanakan syariat Islam dan membiasakan
mereka terhadapnya. Tidak diragukan lagi, yang demikian ini merupakan
pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna. Telah tsabit dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Sesungguhnya seorang laki-laki adalah penanggung jawab terhadap
keluarganya dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”2
Maka yang selayaknya dilakukan oleh wali terhadap orang yang Allah
jadikan di bawah perwaliannya, baik keluarga maupun anak-anak kecil,
hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam mengurusi mereka dan
memerintahkan mereka dengan segala sesuatu yang dia diperintahkan untuk
memerintahkannya, berupa syariat Islam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il
Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 19/83-84)
Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang diberikan oleh
Fadhilatusy Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullahu. Beliau pernah ditanya
tentang seorang anak kecil yang ingin terus menunaikan puasa, sementara
orang tuanya khawatir karena usianya yang masih kecil dan ditakutkan
mengganggu kesehatannya. Beliau rahimahullahu menjawab, “Apabila dia
masih kecil dan belum baligh, maka tidak diharuskan puasa. Akan tetapi
jika dia mampu dan tidak merasa berat, maka dia diperintahkan untuk
berpuasa. Dahulu para shahabat menyuruh anak-anak mereka berpuasa.
Sampai-sampai jika ada di antara anak-anak itu menangis, mereka
memberikan mainan untuk membuat mereka lupa. Namun jika memang hal ini
benar-benar membahayakan, maka orang tua boleh melarangnya, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala melarang kita memberikan harta milik anak-anak
kepada mereka karena khawatir akan rusaknya harta tersebut. Maka
tentunya kekhawatiran akan bahaya yang menimpa badan lebih utama untuk
dicegah. Akan tetapi, larangan tersebut bukan dengan cara yang keras,
karena hal ini tidaklah layak dilakukan terhadap anak-anak pada saat
mendidik mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatisy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-’Utsaimin, 19/83)
Demikian yang dapat terbaca dari teladan para shahabat radhiallahu
‘anhum di saat menyongsong perintah berpuasa. Mereka menghasung
anak-anak mereka untuk melaksanakan syariat Allah yang mulia, hingga
syariat Allah nantinya menjadi sesuatu yang menyatu dalam diri mereka.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Ihtilam yang dimaksud di sini adalah baligh.
2 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Kitab Al-Jumu’ah, Bab Al-Jumu’ah
fil Qura wal Mudun (893) dan Muslim, Kitab Al-Imarah, Bab Fadhilatil
Imamil ‘Adil wa ‘Uqubatil Ja`ir (1829)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar