“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang
isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga
memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka
Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih &
sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari
isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah
dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)
“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah
berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang
diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady
dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum
21)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN
MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(An Nuur 32)
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Adz Dzariyaat
49)
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra
32)
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang,
kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar
menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”
(An-Nur 26)
“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ( An
Nisaa : 4)
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka,
bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu :
berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan
menikah” (HR. Tirmidzi)
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan (khalwat)
dengan seorang perempuan, karena pihak ketiga adalah
syaithan” (HR. Abu Dawud)
Jumat, 18 November 2011
Hadits dan Ayat Alqur’an Tentang Pernikahan
Rabu, 16 November 2011
Menakjubkan: Pengobatan Melalui Al-Qur’an
|
Melalui
tampilan yang menakjubkan ini bersama-sama kita akan menemukan
keagungan pengobatan Al-Quran ….
|
Melalui tampilan yang
menakjubkan ini bersama-sama kita akan menemukan keagungan pengobatan
Al-Quran dengan wawasan ilmiah kontemporer, fakta-fakta yang menakjubkan
ditampilkan dalam penelitian melalui pertunjukan yang menarik dalam
bentuk Power Point ...
Abstraksi
penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengembangkan dasar ilmiah pengobatan Alquran Al-Karim dan Sunnah
nabawiyah, dan dengan demikian dapat membuktikan kelayakan memperlakukan
Al-Quran secara ilmiah dan medis. Baru-baru ini telah muncul beberapa
alternatif cara dalam melakukan apa yang dikenal
dengan pengobatan alternatif, dan salah satu dari metode ini dinamakan
secara ilmiah terapi penyembuhan melalui suara, dimana para ilmuwan
telah membuktikan bahwa setiap sel dari sel-sel otak bergetar dengan
frekuensi tertentu, dan bahwa ada program yang ketat dalam setiap sel
yang mengontrol kerjanya selama hidupnya, dan program ini
dapat terpengaruh oleh guncangan eksternal, seperti benturan
psikologis dan masalah sosial.
Oleh karena itu, sel-sel ini
ketika terkena pengaruh goncangan akan merusak aktivitas program khusus
yang mengarah pada gangguan goncangan yang beragam, dan kadang juga
dapat mengakibatkan kerusakan sistem kerja secara keseluruhan lalu muncul berbagai jenis baik penyakit mental dan dan
fisik. Para ilmuwan memastikan bahwa yang terbaik dan dapat memprogram
ulang sel-sel ini, atau dengan kata lain melakukan rebalancing dan
modifikasi goncangannya pada batasan natural karena mereka menemukan
bahwa sel yang rusak kecil kemungkinan dipengaruhi oleh getaran yang
berasal dari sel yang sehat dan bersih.
Oleh karena itu, para ilmuwan
berusaha untuk mencari getaran suara yang
mempengaruhi saat mendengarnya sel-sel yang rusak dan mengembalikan
keseimbangan padanya, proses pengujian dan experiment ilm sedang
berjalan hingga saat ini. Tetapi para ilmuwan Barat bergantung pada
terapi musik dan suara alam dan frekuensi yang tetap dan inilah yang
mereka lakukan. Lalu datang peran pengobatan melalui Al-Qur'an dan
doa-doa yang (ma’tsur) shahih, sebagaimana yang kita
ketahui bahwa suara masuk ke dalam otak melalui telinga dan suara
merupakan ungkapa dari getaran, dan ketika pasien mendengarkan bacaan
ayat-ayat Al-Quran, maka getaran yang sampai pada otaknya dan memiliki
dampak positif pada sel, dan membuatnya bergetar dengan frekuensi
getaran yang tepat sesuai dengan fitrah Allah (ciptaan Allah) Karena Al
Qur'an memiliki ciri oleh keharmonian yang unik yang tidak dari jenis
yang tidak tersedia dalam kitab lain. Allah berfirman:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
”Maka Apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
(An-Nisa: 82).
Oleh karena itu Al-Quran
merupakan sarana pengobatan yang terbaik dan termudah untuk
mengembalikan keseimbangan sel yang rusak, karena Allah Maha Kuasa yang
menciptakan sel dan Dia pula yang menitipkan di dalamnya akan program
yang detail ini, sebagaimana Dia juga tahu yang terbaiknya, dan ketika
Allah menyatakan bahwa al-Quran adalah sarana
penyembuhan
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا
يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al
Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian”. (Al-Isra: 82).
Selasa, 15 November 2011
perwujudan Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah harus diwujudkan secara nyata. Syariat telah
menjelaskan banyak sekali sikap dan perilaku sebagai perwujudannya.
Misal, sikap saling mencintai sesama Muslim. Rasul saw. bersabda:
«لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ
تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا …»
Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum
sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai … (HR
Muslim).
Kaum Muslim juga harus saling bersikap dzillah; meliputi
kasih-sayang, welas asih, dan lemah lembut (QS al-Maidah [5]: 54);
bersikap rahmah terhadap umat Islam (QS al-Fath [48]: 29); dan rendah
hati kepada kaum Mukmin (QS al-Hijr [15]: 88).
Mereka juga diperintahkan untuk tolong-menolong; membantu kebutuhan
dan menghilangkan kesusahan saudaranya; melindungi kehormatan, harta,
dan darahnya; menjaga rahasianya; menerima permintaan maafnya; dan
saling memberikan nasihat. Masih sangat banyak manfestasi ukhuwah
lainnya.
Harus dicatat, wujud ukhuwah islamiyah tidak hanya bersifat
individual, namun juga harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan yang
dapat menjaga keberlangsungannya. Di sinilah Islam telah mewajibkan
umatnya agar hanya memiliki satu negara dan satu kepemimpinan yang
dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ
مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir
dari keduanya. (HR Muslim).
Islam juga melarang setiap usaha memisahkan diri dari Khilafah.
Allah Swt. memerintahkan Khalifah untuk memerangi kaum bughat[13]
(pemberontak) hingga mereka mau kembali ke pangkuan Khilafah (QS
al-Hujurat [49]: 9). Nabi saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ
فَاقْتُلُوهُ»
Siapa saja yang datang kepada kalian—sedangkan urusan kalian
berada di tangan seseorang (Khalifah)—lalu dia hendak memecah-belah
ikatan kesatuan dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia. (HR
Muslim dari Arfajah).
Islam menetapkan, kesatuan umat dan negara merupakan salah satu qâdhiyyah
mashiriyyah (perkara utama). Sebab, asy-Syâri‘ telah
menjadikan hidup dan mati untuk menyelesaikannya.[14]
Dengan kesatuan itu, kaum Mukmin menjadi kuat, sebagaimana sabda Rasul
saw.:
«الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا»
Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan; sebagian
menguatkan sebagian lainnya. (HR. Bukhari, at-Tirmidzi,
an-Nasa’i dan Ahmad).
Sayang, saat kaum Muslim terbagi dalam banyak negara seperti
sekarang, mereka menjadi umat yang lemah, terpecah-belah, dan mudah
diadu-domba. Akhirnya, mereka mudah dikuasai musuh-musuh mereka.
Ukhuwah umat Islam yang centang-perenang saat ini harus segera
diakhiri. Caranya, Daulah Khilafah Islamiyah harus segera ditegakkan,
niscaya ukhuwah islamiyah pun akan nyata kembali.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
Membangun Ukhuwah Islamiyah, Menolak ‘Ashabiyyah
Jelas sekali ayat ini mewajibkan umat Islam agar bersatu dengan
akidah Islam sebagai landasan persatuan mereka. Islam menolak setiap
paham selain akidah Islam sebagai dasar persatuan. Nasionalisme,
misalnya, menurut Islam, termasuk ‘ashâbiyyah (fanatisme
golongan) yang terlarang. Rasul saw. bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ
مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ»
Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyyah,
yang berperang karena ‘ashabiyyah, dan yang mati membela ‘ashabiyyah (HR
Abu Dawud).
Seseorang pernah bertanya kepada Rasul saw., “Apakah seseorang
mencintai kaumnya termasuk ‘ashabiyyah?” Beliau menjawab:
«لاَ، وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ
قَوْمَهُ عَلى الظُّلْمِ»
Tidak. Akan tetapi, termasuk ‘ashabiyyah jika seseorang
menolong kaumnya atas dasar kezaliman. (HR Ibnu Majah).
Nasionalisme adalah paham yang menjadikan kesamaan bangsa sebagai
dasar persatuan. Paham ini termasuk bagian dari seruan-seruan jahiliah (da‘wâ
al-jâhiliyyah). Nasionalisme menjadikan loyalitas dan pembelaan
terhadap bangsa mengalahkan loyalitas dan pembelaan terhadap Islam.
Halal-haram pun akan dikalahkan ketika bertabrakan dengan ‘kepentingan
nasional’. Akibatnya, kepentingan bangsa, meski menyalahi syariat, akan
dibela. Jelas paham ini termasuk ‘ashâbiyyah yang diharamkan
Islam.
Persaudaraan Islam yang Hakiki (Tafsir QS al-Hujurat [49]: 10)
(QS al-Hujurat [49]:
10)
]إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْنَ[
Sesungguhnya
orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua
saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian
mendapatkan rahmat.
Ayat ini merupakan kelanjutan sekaligus penegasan perintah dalam ayat
sebelumnya untuk meng-ishlâh-kan kaum Mukmin yang bersengketa.[1] Itu
adalah solusi jika terjadi persengketaan. Namun, Islam juga memberikan
langkah-langkah untuk mencegah timbulnya persengketaan. Misal, dalam dua
ayat berikutnya, Allah Swt. melarang beberapa sikap yang dapat memicu
pertikaian, seperti saling mengolok-olok dan mencela orang lain,
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (QS al-Hujurat [49]:
11); banyak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan
menggunjing saudaranya (QS al-Hujurat [49]: 12).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innamâ al-Mu‘minûn ikhwah. (Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah
bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan
akidah.
Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar
kuat, lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak
dari: Pertama, digunakannya kata ikhwah—dan kata ikhwan—yang
merupakan jamak dari kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah
dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa saling menggantikan.
Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk menunjuk saudara
senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau sahabat.[2]
Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa
ukhuwah kaum Muslim itu lebih daripada persahabatan atau perkawanan
biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innamâ. Meski
secara bahasa, kata innamâ tidak selalu bermakna hasyr (pembatasan),[3]
kata innamâ dalam ayat ini memberi makna hasyr.
Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak
ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir.[4]
Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada persaudaraan
nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama.
Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus karena perbedaan nasab.[5]
Bahkan, persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari
persaudaraan (akidah) Islam.[6]
Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris
antara Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal
dan ia hanya memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu
tidak boleh mewarisi hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum
Muslim. Sebaliknya, jika saudaranya yang kafir itu meninggal, ia tidak
boleh mewarisi harta saudaranya itu.[7]
Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir
sebagai wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak dan saudara mereka
(QS at-Taubah [9]: 23).
Kemudian Allah Swt. berfirman: fa ashlihû bayna akhawaykum (Karena
itu, damaikanlah kedua saudara kalian). Karena bersaudara, normal dan
alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian, dan
persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu
adalah penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal
dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak
mereka untuk mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya.[8]
Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah
paling sedikit terjadinya persengketaan. Jika dua orang saja
yang bersengketa sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari dua
orang.[9]
Digunakannya kata akhaway (dua orang saudara) memberikan
makna, bahwa sengketa atau pertikaian di antara mereka tidak
mengeluarkan mereka dari tubuh kaum Muslim. Mereka tetap disebut
saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut dua kelompok yang saling berperang
sebagai Mukmin. Adapun di-mudhâf-kannya kata akhaway dengan
kum (kalian, pihak yang diperintah) lebih menegaskan kewajiban
ishlâh (mendamaikan) itu sekaligus menunjukkan takhshîsh
(pengkhususan) atasnya.[10]
Artinya, segala sengketa di antara sesama Mukmin adalah persoalan
internal umat Islam, dan harus mereka selesaikan sendiri.
Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat
sebelumnya. Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thâ’ifatâni min
al-Mu‘minîna [i]qtatalû (jika ada dua golongan dari kaum Mukmin
berperang). Kata thâ’ifatâni (dua golongan) dapat membuka celah
kesalahan persepsi, seolah ishlâh hanya diperintahkan jika dua
kelompok berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak
sampai perang ([i]qtatalû) seperti hanya saling mencaci dan
memaki, dan tidak menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlâh.
Karena itu, firman Allah Swt. bayna akhawaykum itu menutup
celah salah persepsi itu. Jadi, meski yang bersengketa hanya dua orang
Muslim dan masih dalam taraf yang paling ringan, ishlâh harus
segera dilaksanakan.[11]
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa [i]ttaqû Allâh la‘allakum
turhamûn (dan
bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat). Takwa
harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh dan semua
perkara. Dalam melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat
dengan kebenaran dan keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong
pada salah satu pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang
disejajarkan oleh Islam.[12]
Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan
hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkîm pada syariat. Dengan
begitu, mereka akan mendapat rahmat Allah Swt.
Pacaran dalam Islam
Gimana sich
sebenernya pacaran itu, enak ngga' ya?
Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran
itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang
bener ada pacaran
yang Islami itu, dan bagaimana kita
menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah fitrah
Ketika hati
udah terkena panah asmara, terjangkit
virus cinta, akibatnya...... dahsyat
man...... yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan
inget si dia, waktu
tidur mimpi si dia. Bahkan orang
yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela
ngelakuin apa aja demi
cinta, semua dilakukan agar si dia
tambah cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah
terpupuk, hati penuh
dengan bunga. Yang gawat lagi,
karena pengen bukti'in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena
cinta diputusin bisa minum
baygon. Karena cinta ditolak ....
dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi
potensi kehidupan yang
sama, dimana potensi itu yang
kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut
pemuasan. Potensi ini sendiri
bisa kita kenal dalam dua bentuk.
Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga'
terpenuhi manusia
bakalan binasa. Inilah yang disebut
kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum,
tidur, bernafas,
buang hajat de el el. Kedua, yang
menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo' kagak terpenuhi manusia ngga'
bakalan mati, cuman
bakal gelisah (ngga' tenang) sampe'
terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan
(gharizah). Kemudian
naluri ini di bagi menjadi 3 macam
yang penting yaitu :
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam
In fact,
pacaran merupakan wadah antara dua insan
yang kasmaran, dimana sering
cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai
pergaulan ilegal (seks).
Islam sudah jelas menyatakan:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk." (Q.
S. Al Isra' : 32)
Seringkali
sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen
yang hukumnya wajib maupun sunnah
jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i.
Pokoknya aktivitas
pacaran itu dekat banget dengan
zina. So....kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak
ada legitimasi Islam
buatnya, adapun beribu atau berjuta
alasan tetep aja pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka
mojok atau berduaan ditempat yang sepi,
karena yang ketiga adalah syaiton.
Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita
berkhalwat (berduaan di
tempat sepi), sebab syaiton
menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan
wanita, kecuali disertai dengan
mahramnya." (HR. Imam Bukhari
Muslim).
Dan untuk
para muslimah jangan lupa untuk menutup
aurotnya agar tidak merangsang para
lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur :
31).
Dan juga
sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar
memejakamkan mata dan memelihara
kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR.
Thabrany).
Yang perlu
di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan)
Allah, dimana manusia ngga' punya
andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh
yang baik menurut
Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah
buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik
adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezki
yang mulia (surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab
Wallahu A'lam bish-Showab
Islam Kok Pacaran
oleh Aliman
Syahrani
Soal pacaran
di zaman sekarang tampaknya menjadi
gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai
akibat dari pengaruh
kisah-kisah percintaan dalam roman,
novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja
memang harus
ditaburi dengan bunga-bunga
percintaan, kisah-kisah asmara ,
harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan
berbagi
rasa.
Selama ini
tempaknya belum ada pengertian baku
tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di
dalamnya akan ada suatu bentuk
pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau
lebih jauh sebenarnya pacaran
menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat
mensahkan adanya fase-fase
hubungan hetero seksual dalam
kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta
monyet), datang (kencan),
going steady (pacaran), dan
engagement (tunangan).
Bagaimanapun
mereka yang berpacaran, jika
kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri,
maka dengan tegas mereka
menolak. Namun, tidaklah demikian
jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai
alat untuk memilih
pasangan hidup. Akan tetapi
kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang
maslahatnya. Satu contoh
: orang berpacaran cenderung
mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi
hal-hal semacam melamun
atau berfantasi. Amanah untuk
belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih
mendapat kiriman dari
orang tua. Apakah uang kiriman untuk
hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar
itulah ulama memandang, bahwa
pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara
sosio kultural di kalangan
masyarakat agamis, pacaran akan
mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang
berpacaran sedikit demi
sedikit akan terkikis peresapan
ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral
dan akhlak. Na’udzubillah
min dzalik !
Sudah banyak
gambaran kehancuran moral akibat
pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science
dan peradaban modern
(westernisasi). Islam sendiri
sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi
penjelasan mengenai
berpacaran. Pacaran menurut Islam
diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila
seorang di antara kamu
meminang seorang wanita, andaikata
dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad
dan Abu
Daud).
Namun Islam
juga, jelas-jelas menyatakan bahwa
berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi
mudharatnya. Setiap orang
yang berpacaran cenderung untuk
bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at !
Terhadap larangan
melihat atau bergaul bukan muhrim
atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Abbas
yang artinya: "Janganlah salah
seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita,
kecuali bersama dengan
muhrimnya." Tabrani dan
Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain:
"Lirikan mata merupakan
anak panah yang beracun dari setan,
barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan
menggantikannya dengan
iman sempurna hingga ia dapat
merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin
juga ada di antara mereka yang
mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah
hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan Imam Abu Daud
berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena
Allah, atawa memberi
karena Allah, dan tidak mau memberi
karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah
mereka
itu adalah orang-orang yang
mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus
(terlalu) jauh dalam mengarungi
"dunia berpacaran" mereka. Tapi kita
juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi
"perahu pacaran"
itu ? Dan jika kita kembalikan lagi
kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang
mencintai karena
Allah adalah salah satu aspek
penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu
sama lainnya benar-benar
karena Allah ? Dan bagaimana mereka
merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada
acara bonceng-boncengan,
dua-duaan, atau bahkan sampai buka
aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si
cewek, atau yang
lain-lainnya, apakah itu bisa
dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran
orang tua sangat penting dalam
mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada
pergaulan dengan lain
jenis. Adalah suatu keteledoran jika
orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya.
Oleh karena itu
sikap yang bijak bagi orang tua
kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja
laksanakan.
Rasakan 30 Macam Sambal di Waroeng SS
Jika Anda pecinta pedas belum lengkap rasanya jika belum menyambangi
Waroeng Spesial Sambal (SS). Di tempat ini Anda bisa memilih 30 jenis
sambal dengan tingkat kepedasan di atas rata-rata.
Ada sambal belut, sambal teri, sambal terasi, sambal kecap, sambal ijo, sambal bawang, sambal tomat, sambal terong, sambal bajak, sambal udang pedas, sampai sambal mangga muda.
Beberapa sambal bahkan punya “nama usil.” Seperti sambal belut yang disebut juga sambal smack down, mengingat proses penangkapan belut harus dilakukan dengan tenaga ekstra karena kulitnya yang licin dan susah ditangkap. Sambal bajak punya nama lain Sambal Teroris, sedangkan sambal rempelo ati dinamai juga Sambal Kurang Ajar karena orang yang memakannya bisa disebut “makan hati.”
Semua sambal yang berkisar antara harga Rp 1.500 – 6.000 ini terasa segar karena baru dibuat begitu dipesan. Yang paling komplit adalah sambal gobal gabul yang merupakan campuran dari beberapa macam sambal seperti sambal bajak, sambal ijo, sambal kecap, dan sambal rempelo ati.
"Dalam sehari kami butuh 4 kg cabai rawit merah (ini untuk yang pedas tak terkira), dan jenis lainnya hanya 2 kg. Untuk terasinya kami datangkan langsung dari Jawa Timur," kata Kepala Warung Special Sambal Surahman (26) ketika ditemui okezone.com (11/11/2010).
Harga untuk lauk, sayur, dan minuman pun termasuk ringan di kantong. Aneka lauk seperti belut, ayam goreng, nila, bawal, udang, cumi ditawarkan hanya Rp3.500– 30.000.
“Yang harga paling mahal untuk menu lauk sebesar Rp 30.000 adalah Gurame bakar. Menu ini baru kita keluarkan pada bulan ini,” tambahnya.
Sedangkan untuk aneka sayur seperti pecel, sayur asem, cah kangkung, plencing jawa, bisa didapatkan dengan harga Rp 2.500 – 4.500. Rasanya nggak kalah kok dengan sayur dan lauk di rumah-rumah makan Sunda yang sekarang sedang menjamur.
Setelah makan pedas enaknya minum yang dingin seperti jus. Beragam jus juga ditawarkan murah meriah Rp4.000 – Rp 6.500. Yang istimewa adalah jus gobal gabul seharga Rp 6.500 yang terbuat dari campuran alpukat, jambu, belimbing, dan pepaya. Porsi nasi putihnya yang seharga Rp 3.000 pun tidak pelit alias sedikit lebih banyak daripada porsi nasi di rumah-rumah makan lain. Jika ingin lebih puas pesan saja nasi dalam cething/bakul seharga Rp 11.000.
Warung yang pertama berdiri di Yogyakarta ini sekarang telah memiliki 33 cabang di seluruh Indonesia, sebagian berkonsep waralaba. Warung ini bisa dikenali dari logonya yang berwarna merah dengan maskot berupa orang-orangan berbentuk cabai merah besar mengenakan kaca mata. Maskot ini bernama Mr Huuh-Haah yang tak lain adalah pemilik utama Warung SS. Si pemilik membebaskan konsumennya untuk mengajukan komplain dan masukan berkaitan dengan pelayanan warungnya dengan mencantumkan nomornya pada poster yang terpajang di setiap cabang.
Jika anda tertarik untuk mencobanya datang langsung di Jalan Margonda Raya, samping Hotel bumi Wiyata, Depok. Dengan jam buka untuk weekday dari jam 11.00 WIB sampai 22.00 WIB, sedangkan untuk weekend dari jam 11.00 WIB sampai jam 23.00 WIB.
Ada sambal belut, sambal teri, sambal terasi, sambal kecap, sambal ijo, sambal bawang, sambal tomat, sambal terong, sambal bajak, sambal udang pedas, sampai sambal mangga muda.
Beberapa sambal bahkan punya “nama usil.” Seperti sambal belut yang disebut juga sambal smack down, mengingat proses penangkapan belut harus dilakukan dengan tenaga ekstra karena kulitnya yang licin dan susah ditangkap. Sambal bajak punya nama lain Sambal Teroris, sedangkan sambal rempelo ati dinamai juga Sambal Kurang Ajar karena orang yang memakannya bisa disebut “makan hati.”
Semua sambal yang berkisar antara harga Rp 1.500 – 6.000 ini terasa segar karena baru dibuat begitu dipesan. Yang paling komplit adalah sambal gobal gabul yang merupakan campuran dari beberapa macam sambal seperti sambal bajak, sambal ijo, sambal kecap, dan sambal rempelo ati.
"Dalam sehari kami butuh 4 kg cabai rawit merah (ini untuk yang pedas tak terkira), dan jenis lainnya hanya 2 kg. Untuk terasinya kami datangkan langsung dari Jawa Timur," kata Kepala Warung Special Sambal Surahman (26) ketika ditemui okezone.com (11/11/2010).
Harga untuk lauk, sayur, dan minuman pun termasuk ringan di kantong. Aneka lauk seperti belut, ayam goreng, nila, bawal, udang, cumi ditawarkan hanya Rp3.500– 30.000.
“Yang harga paling mahal untuk menu lauk sebesar Rp 30.000 adalah Gurame bakar. Menu ini baru kita keluarkan pada bulan ini,” tambahnya.
Sedangkan untuk aneka sayur seperti pecel, sayur asem, cah kangkung, plencing jawa, bisa didapatkan dengan harga Rp 2.500 – 4.500. Rasanya nggak kalah kok dengan sayur dan lauk di rumah-rumah makan Sunda yang sekarang sedang menjamur.
Setelah makan pedas enaknya minum yang dingin seperti jus. Beragam jus juga ditawarkan murah meriah Rp4.000 – Rp 6.500. Yang istimewa adalah jus gobal gabul seharga Rp 6.500 yang terbuat dari campuran alpukat, jambu, belimbing, dan pepaya. Porsi nasi putihnya yang seharga Rp 3.000 pun tidak pelit alias sedikit lebih banyak daripada porsi nasi di rumah-rumah makan lain. Jika ingin lebih puas pesan saja nasi dalam cething/bakul seharga Rp 11.000.
Warung yang pertama berdiri di Yogyakarta ini sekarang telah memiliki 33 cabang di seluruh Indonesia, sebagian berkonsep waralaba. Warung ini bisa dikenali dari logonya yang berwarna merah dengan maskot berupa orang-orangan berbentuk cabai merah besar mengenakan kaca mata. Maskot ini bernama Mr Huuh-Haah yang tak lain adalah pemilik utama Warung SS. Si pemilik membebaskan konsumennya untuk mengajukan komplain dan masukan berkaitan dengan pelayanan warungnya dengan mencantumkan nomornya pada poster yang terpajang di setiap cabang.
Jika anda tertarik untuk mencobanya datang langsung di Jalan Margonda Raya, samping Hotel bumi Wiyata, Depok. Dengan jam buka untuk weekday dari jam 11.00 WIB sampai 22.00 WIB, sedangkan untuk weekend dari jam 11.00 WIB sampai jam 23.00 WIB.
perolehan medali sementara
Perolehan Resmi Medali Sea Games 16 November 2011 (Hari Keenam Pukul 13.00 WIB)
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kamis, 10 November 2011
KISAH BILAL BIN RABAH
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan
mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan,
walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan
membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.
Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Radhiyallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.
Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Radhiyallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Selasa, 08 November 2011
Etika Safar
Bila seseorang bepergian seorang diri, tentu ia tidak memiliki kawan
yang akan menolongnya jika tertimpa kesulitan. Misalnya, seperti sakit
dalam perjalanan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan pertolongan
orang lain. Dalam larangan bepergian sendirian ini terdapat hikmah bagi
keselamatan seorang mukmin. Memang benar, seorang mukmin harus
bertawakal dan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun,
bertawakal kepada Allah tidak berarti menafikan sebab. Karena meminta
bantuan kepada manusia yang hadir dan mampu dikerjakannya,
diperbolehkan syari’at. Larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut, bukan berarti kita menggantungkan diri secara mutlak
kepada teman perjalanan. Sama sekali tidak! Akan tetapi, kita diperintah
untuk mengambil sebab yang mengantarkan kepada keselamatan, dan sebagai
pencegah terjerumusnya si musafir ke dalam maksiat atau madharat
lainnya. Oleh karena itu, sebagai muslim, selayaknya kita memahami
larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, serta
menyikapinya dengan benar. Seorang mukmin hendaknya bersemangat
mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena,
berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah adalah orang yang paling faham
yang bermanfaat dan yang membahayakan umatnya
Berbahagialah Mengemban Amanah
Sekecil apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan hati terpaksa
diiringi keluh kesah, niscaya akan terasa berat bak menanggung beban
sebesar gunung. Sebaliknya, seberat apapun suatu pekerjaan jika
dilakukan dengan penuh keikhlasan, kegembiraan dan harapan, niscaya akan
terasa ringan dan menyenangkan. Memang benar! Tanggung jawab seorang
ibu tidaklah ringan. Tugas dan kewajiban yang dipikulnya tidaklah
sedikit Siapapun tak bisa menyangkal, seorang ibu rumah tangga
hampir-hampir tak mempunyai waktu istirahat. Pekerjaannya seolah selalu
tampak di depan mata tak pernah ada habisnya. Kalau seorang ayah bisa
tidur nyenyak di malam hari, lain halnya dengan seorang ibu. Tangis si
kecil terkadang mengusik tidur malamnya. Tugas seorang wanita begitu
universal. Sebagai seorang permaisuri pendamping suami, seorang ibu,
pengasuh sekaligus guru bagi para anaknya, bahkan sebagai pelayan yang
harus selalu siap dipakai tenaganya. Tak jarang para ibu merasa jenuh,
letih dan menganggapnya sebagai suatu himpitan yang begitu menyiksa.
Inilah celah yang dimanfaatkan setan untuk melancarkan aksinya. Bak
gayung bersambut, para wanita yang lemah imannya pun berbondong-bondong
meninggalkan rumah mereka. Mereka berusaha mencari solusi pemecahan
dengan meneriakkan slogan emansipasi dan menuntut persamaan hak dengan
kaum pria. Mereka menutup mata dari bahaya yang timbul akibat semua itu.
Perbedaan Yang Wajib Diimani
Laki-laki dan perempuan, menurut kodrat, syari’at, indra dan akal,
jelas-jelas berbeda. Baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan
syari’at untuk masing-masingnya. Mengapa? Sebab Allah Azza wa Jalla
telah menciptakan jenis manusia menjadi dua jenis, laki-laki dan
perempuan. Keduanya sama-sama berhak menghuni dunia, tetapi menurut
kekhususan masing-masing. Keduanya sama-sama berhak meramaikan bumi
dengan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam hal ini,
secara umum tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Tentang
tauhid, aqidah, iman, Islam, pahala dan siksa. Begitu pula tentang hak
dan kewajiban syari’at secara umum. Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla
juga telah menetapkan takdir bahwa laki-laki tidak sama dengan
perempuan. Mulai dari bentuk fisik, gerak-gerik sampai sifat-sifatnya.
Dalam diri laki-laki ada pembawaan kekuatan fisik yang lebih sempurna.
Sementara pada diri perempuan tidak sekuat laki-laki. Sebab perempuan
harus mengalami haid, hamil, melahirkan, menyusui, mengurusi anak yang
disusuinya dan melakukan pendidikan bagi lahirnya generasi masa depan.
Itulah, mengapa wanita dicipta dari tulang rusuk Adam Alaihissallam.
Jadi wanita adalah bagian dari laki-laki, pengikut laki-laki dan
merupakan nikmat bagi laki-laki. Sementara laki-laki mendapat
kepercayaan mengurus kebutuhan wanita, menjaga dan memberikan nafkah
kepadanya dan kepada keturunannya.
Bangkit, Menuntaskan Putus Asa
Ada orang yang apabila melihat kawannya mendapatkan kemuliaan, ilmu atau lainnya, ia hanya bisa tertegun sambil berkata dalam hati, bagimana aku bisa seperti dia? Atau kasus lain, seseorang selalu saja pesimis menghadapi suatu pekerjaan. Alasannya tidak lain, karena menurut yang ia dengan, pekerjaan yang dihadapinya itu sulit. Dalam realita lain, tatkala sebuah penyakit sedang mendera, penderita hanya pasrah total terhadap penyakit tersebut. Seharian dihabiskan dalam tangisan semata, tanpa usaha dan upaya. Seolah-olah harapan sudah tertutup rapat. Atau bisa saja dalam kehidupan rumah orang tua merasa capek, manakala melihat sang buah hatinya berulah, bandel dan nakal. Banyak petuah telah diupayakan agar sang anak menyadari pentingnya berbuat santun. Tapi apa dikata, ternyata sang anak justru melawan menentang. Dia tetap bandel, nakal dan urakan. Menghadapi kenyataan ini, terpaksa sebagai orang tua hanya mengelus dada, bersabar. Namun, terkadang membuatnya putus harapan mengahadapi kenyataan pahit ini. Itu sebagian potret sikap keterputus-asaan, yang terkadang menyelinap hinggap pada seseorang. Semua rasa pesimis tersebut harus dipupus. Karena, Allah pasti memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi yang mau berusaha.
LAJNAH AL_MUNASHAHAH
APA ITU LAJNAH AL-MUNASHAHAH?
Lajnah al-Munâshahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munâshahah memulai aktivitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi [5]
Lajnah al-Munâshahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.
3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [6]
TEKNIK DIALOG
Hampir tiap hari Lajnah al-Munâshahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, perjanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab [7]
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu persatu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya, banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [8]
Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan senang hati mereguknya. [9]
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munâshahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah [10]
Lajnah al-Munâshahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munâshahah memulai aktivitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi [5]
Lajnah al-Munâshahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.
3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [6]
TEKNIK DIALOG
Hampir tiap hari Lajnah al-Munâshahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, perjanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab [7]
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu persatu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya, banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [8]
Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan senang hati mereguknya. [9]
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munâshahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah [10]
berdialog dengan teroris
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan
manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan
akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap
jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin
ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga
merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama
sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda,
keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan
syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [1]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [2]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran mereka [3]
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhuma yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jâbir Radhiyallahu ‘anhuma, akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
ARAB SAUDI DAN TERORISME
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi [4]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorismediimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite PenasEhat).
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [2]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran mereka [3]
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhuma yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jâbir Radhiyallahu ‘anhuma, akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
ARAB SAUDI DAN TERORISME
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi [4]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorismediimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite PenasEhat).
Senin, 07 November 2011
3 cinta dalam hidup
setiap manusia di berikan 3 cintah dalam
hidup ..
1) wanita
2) wngi-wangian
3) shalat ..
hanya
shalat yang dapat membuat kita tenang alam hidup ...
arti kehidupan
waktu trus berjalan tnpa henti ..
dan
bgtu cepat waktu i2 berjalan, sehingga banyak hal yang terlewat yang
tidak kita sadari ..
namun semua i2 tidak dimata Allah yang
selalu melihat dan mencatat segala amal perbuatan kita ...
yang baik
atau pun tidak ...
... yang kita sadari atau pun tidak ..
tak akan trlewat sedikitpun ...
teman maka dari itu slalu lah kita
berhati-hati dalam bertindak karena stiap ap yang kta kerjakan tdak akn
luput dri pengawasan Allah SWT dan tak ad yang terlupa sedikit pun ...
hadits Rasulullah saw.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini." ( HR Muslim )
Al-Qur'an Sebagai Pedoman Hidup Kita
Al Quran diturunkan kepada Muhammad
Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kerasulan beliau. Al Quran di turunkan
secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan malaikat
Jibril. Malaikat Jibril menurunkan Al Quran ke dalam hati Rasulullah dan
beliaupun langsung memahaminya. Hal ini disebutkan dalam Al Quran surat Al
Baqarah (2) : 97.
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran itu kepada para shahabatnya. Mereka menuliskannya di pelepah daun daun kering, batu, tulang dll. Pada saat itu belum ada kertas seperti zaman modern sekarang ini. Kemudian para shahabat langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian Al Qur;an di ajarkan kepada para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami dengan menghafal. Bukan dengan sekedar membaca.
Pada saat Rasulullah telah wafat, banyak terjadi peperangan. Dalam peperangan Yamamah misalnya , banyak para sahabat pemghafal Quran yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta Abu bakar sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat menolak. „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“ ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan urgensinya pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang. Akhirnya Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin Khattab.
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran itu kepada para shahabatnya. Mereka menuliskannya di pelepah daun daun kering, batu, tulang dll. Pada saat itu belum ada kertas seperti zaman modern sekarang ini. Kemudian para shahabat langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian Al Qur;an di ajarkan kepada para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami dengan menghafal. Bukan dengan sekedar membaca.
Pada saat Rasulullah telah wafat, banyak terjadi peperangan. Dalam peperangan Yamamah misalnya , banyak para sahabat pemghafal Quran yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta Abu bakar sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat menolak. „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“ ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan urgensinya pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang. Akhirnya Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin Khattab.
Abu Bakarpun lalu meminta Zaid bin Haritsah untuk melakukan tugas ini. Zaid bin Haritsah pun sempat berkata : „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“. Tapi akhirnya Zaidpun setuju dan mulai mengumpulkan shahifah-sahhifah yang tersebar di tangan para shahabat yang lain. Batu, daun-daun kering, tulang dll itupun disimpan di rumah Hafsah.
Barulah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, Mushaf Al Quran selesai sebanyak 5 buah. Satu disimpan Utsman dan 4 yang lain disebar ke : Makkah, Syria, Basrah dan Kufah. Jadi pada saat itu para shahabat, tabi’it dan thabi’i tabiin mempelajari al Quran dengan menghafal karena jumlah Mushaf yang sangat sedikit.
Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Bila kita perhatikan di sekitar kita, diantara teman-teman dan keluarga kita, ada berapa persen diantara mereka yang hafal Al Quran ? Berapa persen yang sedang menghafal Al Quran? Mungkin kita susah memberikan persentase karena dihitung dengan jari-jari tangan kita belum tentu genap semuanya.
Kaum muslimin saat ini masih cukup berpuas diri dengan membaca Mushaf Al Quran dan tidak memahami maknanya. Padahal membaca Al Quran baru langkah awal interaksi Al Quran. Al Quran sebagai petunjuk bagi kita tidak cukup dibaca tapi juga dihafal dan difahami.
Mungkin ada sebagian yang berkata mengapa perlu menghafal ? Tidakkah cukup dengan membaca Mushaf dan membaca tarjemahan ? Ternyata tidak cukup. Dengan menghafal Al Quran ada „rasa“ (atau zauk) yang diberikan Allah kepada hati kita. Rasa ini didapat karena ayat-ayat yang dibaca berulang-ulang. Pengulangan kalam-kalam suci itulah yang menjadi „makanan“ untuk hati. Dan sesuai dengan ayat di Al Baqarah : 97 diatas, Al Quran itu diturunkan di hati Nabi Muhammad. Bukan di akal fikiran beliau. Artinya Al Quran itu konsumsi/makanan hati bukan sekedar fikiran.
Rasa inilah yang menjadikan kita nikmat mengenal Allah, memahami kehendakNya dan ringan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. „ Rasa „ ini kurang ada juga sedikit ketika kita hanya membaca. Apalagi bila membacanya tidak diiringi dengan pemahaman artinya. Dan membaca tidak diulang-ulang. Efeknya sangat berbeda dengan mengulang-ulangnya.
Kaum muslimin saat ini cukup berpuas diri dengan membaca „buta“ Al Quran dan menimba ilmu dari para ustadz, kiai dan pemuka-pemuka agama. Tanpa menghilangkan rasa hormat kepada para penyampai-penyampai risalah agama, kita sebagai hamba Allah, secara individual juga mempunyai kewajiban berusaha memahami Al Quran dari aslinya langsung dari firman-firmanNya.
Bila kita menghafal dan mentadaburi Al Quran maka Allah akan mengajarkan kepada kita pengetahuan melalui hati kita dengan perantaraan ilham. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8-10:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“
Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Atau ilham itu sebagai furqan atau pembeda mana-mana amal yang haq dan mana-man yang bathil. Sebagai misal ketika kita masuk ke tempat maksiat maka hati kita akan terasa tidak enak, tidak nyaman. Itulah peringatan dari hati kita yang bersih. Furqan inilah yang dibutuhkan di dalam kehidupan ketika berperang dengan bisikan-bisikan syaithan yang membujuk-bujuk kita untuk berbuat maksiat dengan iming-iming duniawi yang menggiurkan. Karena itu sangatlah kita memerlukan furqan yang menjadikan kita mantap mengetahui yang haq dan yang bathil. Seperti disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Anfaal ayat 29:
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Al Quran juga sebuah petunjuk/pedoman hidup bagi kita kaum muslimin :
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS Al Baqarah : 2)
Jadi intinya Al Qu’an adalah pedoman hidup. Tapi hanya segelintir orang yang hafal dan faham Al Quran. Bagaimana Al Quran bisa menjadi pedoman hidup seorang muslim secara individual bila membaca dan memahaminya secara tuntas saja belum dilakukan ? Dan banyak diantara kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum pernah membaca dengan tuntas Al Quran.
Bayangkan apabila kita akan pergi ke puncak Gunung Semeru. Sebelum pergi kita dibekali dengan peta, rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk oleh seorang pendaki gunung profesional. Tetapi kita tidak memahami petunjuk-petunjuk tersebut. Apakah kita dijamin akan sampai di puncak gunung semeru dengan selamat ? Kita mungkin lebih senang bertanya dengan penduduk setempat. Bila kita bertemu dengan penduduk yang sangat kenal gunung semeru mungkin kita akan sampai dengan selamat. Tetapi bila orang kita tanya juga kurang faham jalan ke puncak gunung, akankah kita sampai ke puncak dengan selamat atau mungkin kita bisa tersesat ? Padahal bila kita memahami, petunjuk, peta dan juga bertanya maka kita akan mendapat jalan pintas untuk sampai ke puncak gunung.
Memang solusi pemahaman Al Quran ini tidak akan dapat berhasil bila sistem pendidikan agama tidak berjalan intensif sejak dini. Sebagai permisalan, bahasa Inggris diajarkan sejak SD. Maka kita lihat ketika lulus SMA para mahasiswa sudah bisa belajat dari diktat berbahas Inggris. Bila sistem ini diterpakan juga untuk bahasa Arab (sebagai media inti pemahaman Al Quran) maka ketika berumur 20-25 seorang muslim sudah mulai bisa memahami Al Quran dengan mandiri.
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, memahami Al Quran bukan fardhu kifayah yang dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tapi seperti dicontohkan oleh para sahabat, membaca, menghafal, memahami dan melaksanakan Al Quran dilakukan sebagai kewajiban indivial setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang muslim meningkat kualitasnya, keluarga yang dibinanya juga akan berkulaitas sehingga akhirnya sebuah masyarakat madani yang dirindukan selama ini juga dapat terwujud.
Demikianlah renungan kita tentang Al Quran. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita menjadi orang-orang yang mencintai Al Quran, membacanya, menghafalkannya, memahaminya dan mengamalkannya.
Wallahu alam bi shawab
Langganan:
Postingan (Atom)