Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan
manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan
akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap
jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin
ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga
merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama
sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda,
keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan
syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [1]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat)
ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis
dengan kesabaran.” [2]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan
perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman
fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan
hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran
menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi
lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian,
kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit
syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh
para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan
menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog
langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal
tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa
(mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada
beberapa kisah nasihat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di
antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi
kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama
mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan
mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran
mereka [3]
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhuma yang
dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan
berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada
Jâbir Radhiyallahu ‘anhuma, akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij
kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat
untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan
bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran
–seperti dalam kisah sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi
mereka, seperti dalam kisah sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror
yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di
penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi
pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah,
hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak
optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori
syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau
hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat
mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah
(jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan
hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang
semakin menambah pundi-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk
memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan
dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang
telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme
berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
ARAB SAUDI DAN TERORISME
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling
banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah
bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan.
Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi
di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di
ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks
perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom
bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi
Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang.
Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan
menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei
2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’
dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat
dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22
lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan
dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003,
dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan
bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak
Arab Saudi [4]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka
yang mengatakan bahwa ideologi terorismediimpor dari negeri ‘Wahhabi’,
karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah
banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak
terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan.
Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini.
Bahkan, ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan
bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektivitas Amerika dan
sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp
penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab
Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan
pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan
dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang
pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang
dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa,
penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga
saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan
yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam
kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah
al-Munâshahah (Komite PenasEhat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar